DENDY PRIMANANDI 's BLOG



      Kearifan lokal yang ada di Indonesia.Hutan-hutan di Indonesia yang ditebang tanpa mengikuti aturan yang berlaku, dimana hutan-hutan selain sebagai fungsi utamanya dalam menyerap karbon, juga sebagai tempat tinggal hewan-hewan endemik yang sangat terancam kepunahan spesiesnya misalnya seperti Harimau. Hal yang demikian terus berlangsung yang dapat merusak tatanan ekosistem hutan serta mengancam keberadaan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Tidak hanya para penghuni hutan, tatanan sosial budaya masyarakat adat sekitar pun menjadi turut terganggu. Dengan hilangnya hutan berarti hilang juga sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia, karena hutan merupakan tempat mencari makanan, obat-obatan serta menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar rakyat khususnya yang bermukim di dekat hutan.
     Manusia perusak lingkungan masih saja berkeliaran. Sudah saatnya segenap jajaran kementerian lingkungan hidup, para polisi hutan beserta peran masyarakat di sekitar hutan dioptimalkan jangan sampai peristiwa ini terus terulang lagi dan terulang lagi.
       Coba kita tengok dan pelajari banyak suku-suku adat yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, mereka pada umumnya sudah bertindak sangat ramah lingkungan melalui kegiatan hidupnya sehari-hari, dan kita yang katanya orang kota, faktanya justru banyak yang bertindak kurang peduli terhadap lingkungan.
Kemudian aspek kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang termanifestasikan pada kegiatan atau aktivitas yang ramah lingkungan karena kearifan lokal itu sendiri merupakan berbagai gagasan berupa pengetahuan dan pemahaman masyarakat setempat terkait hubungan manusia dengan alam dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, dan bernilai baik. Kearifan lokal juga menyangkut keyakinan, budaya, adat kebiasaan dan etika yang baik tentang hubungan manusia dengan alam (sumberdaya pesisir dan laut) sebagai suatu komunitas ekologis.
Read More …






      Matahari masih enggan menampakkan sinarnya. Suasana subuh pun masih diliputi dingin. Namun puluhan jukung yang dikayuh para pedagang sudah berkumpul di muara kuin. Dari sayur mayur segar, bauh-buahan dan ikan memenuhi jukung para pedagang yang kebanyakan para ibu-ibu. Tak ketinggalan juga kelotok (perahu tradisional bermesin) yang turut meramaikan dengan dagangan berupa makanan khas Banjar bahkan barang kelontongan.
      Celoteh ramai para pedagang yang saling sapa seraya menawarkan dagangannya memecah suasana setiap pagi di muara kuin. Itulah salah satu budaya masyarakat Banjar yang masih terus dilakoni. Dan sebagai objek wisata, Pasar Terapung Muara Kuin menjadi ikon Kalimantan Selatan yang sudah terkenal di pelosok negeri. Kegiatan di pasar terapung dimulai pagi hari sebelum matahari terbit antara pukul 05.30 – 08.00 Wita. Dengan perahu kelotok dari Kota Banjarmasin dapat dicapai sekitar 30 menit. Wisatawan harus datang pagi-pagi untuk dapat melihat kesibukan Pasar Terapung ini. Begitu uniknya kegiatan di pasar terapung yang berada di persimpangan antara sungai Kuin dan sungai Barito ini menjadikannya sebagai Primadona wisata Kalimantan Selatan.
      Memang pasar terapung tak hanya bisa didapati di Muara Kuin saja. Di Lok Baintan kecamatan sungai Tabuk Kabupaten Banjar, juga ada pasar terapung Lok Baintan. Di pasar terapung yang satu, wisatawan tidak perlu bangun terlalu pagi. Karena kegiatan transaksi pasar diatas sungai menggunakan jukung bisa dilihat antar pukul 07.30-09.00 Wita. Berada di kawasan hulu Sungai Martapura yang tidak sedalam dan tidak selebar Sungai Barito, eksotika budaya sungai terasa mengalir indah layaknya aliran sungai yang mengikuti kegiatan para pedagang tradisional ini. Pasar Terapung yang terletak di kecamatan Sungai Tabuk ini, pelaku pasarnya berasal dari Pamakuan, Sungai Tapang, Lok Baintan, dan sungai Tabuk sendiri. Karena transaksinya sambil melaju, pasar terapung semakin siang semakin jauh ke hilir. Eksotika lainnya, semua petani dan pedagang-nya memakai tanggui. Tanggui adalah topi besar dari daun rumbia khas Kalimantan Selatan.
      Untuk menuju obyek wisata Pasar Terapung Lok Baintan yang baru muncul atau diketahui khalayak luar daerah pada decade 1990-an itu, bisa melalui jalan darat dari Banjarmasin ke arah sungai Tabuk, melewati Jalan Martapura Lama/jalan Veteran. Kalau jalan darat, bisa naik taksi atau angkutan pedesaan jurusan Sungai Tabuk-Banjarmasin ataupun ojek. Bila naik mobil pribadi atau carter, maka disekitar jalan veteran kilometer 11 harus turun dan naik ojek lagi menuju lokasi pinggir sungai Martapura tempat aktivitas pasar terapung tersebut. Selain jalan darat, wisatawan juga bisa menggunakan angkutan sungai, seperti naik kelotok (perahu bermotor kecil) dengan rupa-rupa ukuran dari isi sekitar delapan orang hingga 14 orang.



The Uniqueness of Floating Market

      The sun is still hiding and the morning is still cold. However, tens of jukungs are gathered in Muara Kuin.
      Fresh vegetables, fruits, and fish are in the jukungs. Kelotok (tradisional engine boat) are milling around, cheering the morning and offering traditional Banjar food, even other things needed for the daily life. Most of the traders are dominated by women.
      Traders greet each others while offering what they have in their jukungs, expecting others will buy them. That’s one of the culture and life style of Banjar people which still exist until today. And as a tourist attraction, floating market is the icon of tourism in South Kalimantan. It is well known to all over the country. The floating market begins early before the sunrise, abaout 5.30-08.00 am. The traders do not offer their goods. It takes 30 minutes from Banjarmasin to floating market. The tourist must wake up early in the morning to see the busy of this market. For its uniqueness, the floating market is the prime tourist attraction in South Kalimantan.
      The floating market in Muara Kuin is not the only floating market in South Kalimantan. The other floating market is located in Lok Baintan, Sungai Tabuk district or it is more popular as “Lok Baintan” floating market. Those who want to see it do not necessarily wake up early because it begins at 7.30-09.00am.
      Barito river, the exotic culture of river is in the air as we watch th activity in this floating market. The traders come from Pamakuan, Sungai Tapang, Lok Baintan, and Sungai Tabuk. The transaction is quite different because they do it while their jukung are carried by the river. The other uniqueness is that most of them are wearing ‘tanggui’ (traditional hat made of straw of south kalimantan).
Lok Baintan floating market was firstly known to public in 1990s. We have two alternatives to get there: by public transportation from Banjarmasin to Sungai Tabuk using taxi, car, and by kelotok with 8-14 passengers
Read More …


Indonesia dengan berbagai suku bangsa mempunyai keanekaragaman kearifan lokal, kearifan  tradisional, dan budaya yang didalamnya terkandung nilai-nilai etik dan moral, serta norma-norma yang sangat mengedepankan pelestarian fungsi lingkungan. Nilai-nilai tersebut menyatu dalam kehidupan masyarakat setempat, menjadi pedoman dalam berperilaku dan berinteraksi dengan alam, memberi landasan yang kuat bagi pengelolaan lingkungan hidup, menjadikan hubungan antara manusia dengan alam menjadi lebih selaras dan harmoni sebagaimana di tunjukkan dalam pandangan manusia pada fase pertama evolusi hubungan manusia dengan alam, yaitu pan cosmism (Hadi, 2009: 23). Pada saat itu kondisi alam dengan berbagai unsur sumberdayanya dapat terpelihara dan terjaga keseimbangannya, sehingga alam benar-benar berfungsi mendukung kehidupan manusia atau masyarakat di sekitarnya.
     Kearifan lokal yang sebenarnya merupakan modal sosial tersebut, dalam perspektif pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan kiranya penting untuk digali, dikaji dan ditempatkan pada posisi strategis untuk dikembangkan, menuju pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan kearah yang lebih baik.
      Nenek moyang kita sebenarnya telah mewariskan berbagai macam kearifan tradisional yang berfungsi mencegah kerusakan lingkungan, baik sumberdaya lahan, hutan, maupun air. Tradisi subak, sasi, zoning, karuhun, leuweung, masih banyak tradisi lain yang arif lingkungan, seperti nyabuk gunung, bersih desa dan susuk wangan di Jawa Tengah, Tri Hita Karana dan tenget di Bali, wetu alam di Lombok Tengah; semuanya merupakan kearifan lokal yang merupakan kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan mampu mempertebal kepaduan sosial warga masyarakat, serta secara empiris mampu mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
     Sayangnya tradisi-tradisi tersebut saat ini sudah mulai pudar sebagai akibat penetrasi budaya modernisme yang sulit dihindarkan.
    Pengelolaan lingkugan hidup yang pada hakekatnya adalah bagaimana melakukan upaya agar kualitas kehidupan manusia dan kualitas lingkungan semakin baik, harus dilakukan dengan memperhatikan potensi sumberdaya sosial seperti kearifan lingkungan tradisional, dengan tujuan pokok untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Salah satu komponen lingkungan yang sangat esensial bagi kehidupan manusia adalah“air”. Air sangat dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia dan makluk hidup lain. Kekurangan air manusia, hewan, dan tumbuhan akan terganggu pertumbuhan, kesehatan, dan produktivitasnya, bahkan akan mati (Manik, 2009: 130-131). Air dimanfaatkan untuk berbagai sektor ekonomi, baik rumah tangga, pertanian, industri, infrastruktur, transportasi maupun rekreasi dan jasa (Suparmoko, 2008:158). Begitu pentingnya air bagi kehidupan, maka oleh Pindar (dalam Kodoatie & Sjarief, 2010:1) dikatakan bahwa ”Water is the best of allthings.” Namun seiring dengan semakin tingginya tingkat kerusakan hutan, ketersediaan air saat ini secara umum dirasakan semakin berkurang, sedangkan kebutuhan air semakin meningkat. Di sisi lain penanganan masalah kerusakan sumberdaya hutan dan air melalui jalur-jalur formal, sering tidak mampu menyelesaikan masalah sampai pada akar permasalahannya, sehingga kondisi lingkungan tidak semakin baik, tetapi sebaliknya justru semakin memburuk. Hutan terus saja mengalami kerusakan yang tercermin dengan terus menyusutnya vegetasi penutup tanah (Arsyad & Rustiadi, 2008:95), alih fungsi lahan hutan terus terjadi, perambahan hutan terus berlangsung, pohon-pohon pelindung sumber- sumber air ditebangi, sehingga peresapan air kedalam tanah terganggu, debit air pada mata air terganggu, bahkan tidak sedikit mata air yang mati. Kekurangan air dirasakan terutama pada musim kemarau, yang sering memicu terjadinya konflik antar pengguna air, baik antar wilayah hulu dengan hilir, antar sektor, dan antar kelompok petani (Arsyad & Rustiadi, 2008:95-96).
      Salah satu penyebab kegagalan penanganan masalah tersebut adalah diabaikannya kearifan-kearifan lokal. Selama ini kearifan lokal yang sering diartikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius) (Purba, 2005:81), dibeberapa tempat dan pada beberapa kasus (pengusahaan hutan misalnya) sering dianggap menghambat pembangunan. Bahkan dengan gencarnya pembangunan yang menggunakan teknologi tinggi dan cenderung eksploitatif, dan kuatnya pengaruh budaya modernisme, seringkali mengakibatkan semakin pudarnya penghayatan nilai-nilai budaya tradisional disatu sisi; namun disisi lain diduga masih terdapat kearifan-kearifan lokal yang mampu mempertahankan eksistensinya, mampu memelihara, menjaga, dan melestarikan sumberdaya alam (baik lahan, hutan, maupun air) untuk mendukung kehidupan secara berkelanjutan.
      Kabupaten Kendal terutama wilayah Kecamatan Boja merupakan daerah pertanian produktif yang sangat membutuhkan air. Namun saat ini daerah tersebut secara umum mengalami kekurangan air, kecuali di Dusun Ngijo, Desa Purwogondo. Hal tersebut tercermin dari semakin meluasnya konflik pemanfaatan air, dan semakin banyaknya warga yang meperdalam sumur gali miliknya, karena permukaan air sumur menurun. Belum lagi jika dikaitkan dengan kebijakan ketahanan pangan; dengan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang ditindaklanjuti dengan PP Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan; dimanan mengatur ketahanan pangan yang mencakup aspek ketersediaan, cadangan, penganekaragaman, pencegahan, dan penanggulanganmasalah pangan, peran pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat, dan pengembangan sumberdaya manusia. Bahkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ; Pasal 11 ayat (3) mengatakan bahwa Ketahanan Pangan merupakan salah satu urusan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Kemudian muncul Perpres RI Nomor 83 Tahun 2006 tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan (DKP), Pasal 2 mengatakan DKP bertugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional; dan pada Pasal 7 dan 10 mengarahkan pembentukan DKP Propinsi dan Kabupaten/Kota. Diperkuat lagi PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, di mana disarankan pembentukan Badan Ketahanan Pangan atau Unit Struktural yang berbentuk kantor atau badan. Untuk mewujudkan ketersediaan, cadangan, dan peng-anekaragaman pangan, maka dalam proses produksi, ketersediaan air menjadi bagian integral yang tidak dapat terpisahkan dan ketersediannya harus memadai.
      Ketersediaan air ini juga sangat dibutuhkan di daerah Kabupaten Kendal, terutama di wilayah Kecamatan Boja, Desa Purwogondo dan sekitarnya untuk berbagai kepentingan. Namun masalahnya adalah ketersediaan air yang semakin berkurang. Dari 10 (sepuluh) mata air yang ada di Desa Purwogondo, 9 (sembilan) diantaranya debit airnya cukup fluktuatif ; dan hanya 1 (satu) mata air yang debit airnya besar dan ajeg, yaitu Tuk Serco. Hal tersebut terkait dengan keberadaan kearifan lokal yang memelihara, menjaga dan melestarikan mata air.
   

Indonesia as a country that has a Green Culture Local Wisdom

     
     Indonesia with a diverse range of ethnic groups have local knowledge, traditional wisdom, and culture in which there are values ​​of ethics and morals, and norms that is promoting environmental conservation. Values ​​are integrated in the life of the local community, a guide to behave and interact with nature, provide a firm basis for the management of the environment, making the relationship between man and nature become more in tune and harmony, as we show in the view of the first phase of the evolution of human relationships man and nature, the pan cosmism (Hadi, 2009: 23). At that time the various elements of nature with its resources can be preserved and maintained its balance, so that nature really works to support human life or the surrounding community.
     
Local knowledge is actually a social capital, in the perspective of environmentally sustainable development it is important to be explored, examined and placed in a strategic position to be developed, to the management of natural resources and the environment for the better.
 
Our ancestors have bequeathed actually various traditional wisdom which prevents damage to the environment, both land resources, forests, and water. Subak tradition, SASI, zoning, ancestor, Leuweung, there are many other traditions are environmentally sensitive, such as mountain nyabuk, clean and implant Wangan village in Central Java, Tri Hita Karana and Tenget in Bali, Wetu nature in Central Lombok; everything is local wisdom which is a cultural richness that grow and thrive in the community, and is able to strengthen social cohesion citizens, as well as empirically able to prevent environmental damage.
   
Unfortunately these traditions is starting to fade as a result of penetration of cultural modernism that are difficult to avoid.
    
Management of environmental life essentially is how to make an effort so that the quality of human life and environmental quality is getting better, should be done with regard to the potential of social resources such as traditional environmental knowledge, with the principal objective to ensure its survival. One component of the environment is essential for human life is "water". Water is necessary to sustain human life and other living beings. Water shortages man, animals, and plants will be disrupted growth, health, and productivity, even to die (Manik, 2009: 130-131). Water is used for a variety of economic sectors, both domestic, agricultural, industrial, infrastructure, transport and leisure and services (Suparmoko, 2008:158). Once the importance of water for life, then by Pindar (in Kodoatie & Sjarief, 2010:1) said that "Water is the best of allthings." But along with the high rate of deforestation, water availability is now generally felt less and less, while the increasing water demand. On the other hand the handling problems and water damage to forest resources through formal channels, often are not able to resolve the problem to the root of the problem, so that the environmental conditions are not getting better, but instead they got worse. Forest continues to experience damage as reflected by continued shrinking of vegetation ground cover (Arsyad & Rustiadi, 2008:95), the conversion of forest land continues, forest encroachment continues, protective trees cut down water sources, so the water infiltration into the soil disturbed, the water discharge at springs disturbed, even some die springs. Water shortage is felt especially in the dry season, which often lead to conflicts between water users, both upstream and downstream between regions, between sectors, and between groups of farmers (Arsyad & Rustiadi, 2008:95-96).
   
One of the causes of the failure of handling the problem is ignorance of local wisdom. During the local knowledge which is often interpreted as a local policy (local wisdom), local knowledge (local knowledge) or local intelligence (local genius) (Purba, 2005:81), in some places and in some cases (eg forest management) is often considered to inhibit development. Even with the vigorous development of high technology and tend to be exploitative, and the strong cultural influence of modernism, often resulting in the fading appreciation of the values ​​of traditional culture on the one hand, and yet on the other hand there are still suspected local wisdom that is able to maintain its existence, able to preserve, maintain , and conserve natural resources (whether land, forest, and water) to support sustainable living.
   
Kendal especially the sub Boja a highly productive agricultural area in need of water. But this time the area generally have water shortage, except in Ngijo Hamlet, Village Purwogondo. This is reflected in the ever-expanding water use conflicts, and the increasing number of residents who dug his meperdalam, because the well water level decreases. Not to mention if it is associated with food security policies; with Law No. 7 of 1996 on Food, which is followed up by Government Regulation No. 68 Year 2002 on food security; where N set of food security that includes the availability, backup, diversification, prevention, and penanggulanganmasalah food, the role of central and local government, and society, and human resource development. Even Law. 32 Year 2004 on Regional Government, Article 11 paragraph (3) says that food security is one of the matters that must be held by the provincial government and the local government district / city. Then came the Presidential Decree No. 83 Year 2006 on the Establishment of Food Security Council (DKP), Article 2 says DKP assists the President in formulating policies in order to achieve national food security, and in Article 7 and DKP 10 directs the formation of provincial and district / city. Reinforced PP No. 41 Year 2007 on the Organization of the Region, which recommended the establishment of the Food Security or Structural Unit in the form of an office or agency. To achieve availability, backup, and lawyer-diversity of food, then in the process of production, water availability becomes an integral part that can not be separated and the availability should be adequate.
    
Water availability is also needed in the Kendal area, especially in the District Boja, Purwogondo village and surrounding areas for a variety of interests. But the problem is the diminishing availability of water. Of 10 (ten) springs in the village Purwogondo, 9 (nine) among the discharge water is quite volatile, and only 1 (one) springs that discharge water is large and steady, the Tuk Serco. This is related to the existence of local knowledge to maintain, protect and conserve the springs.


Read More …